Membaca Buku untuk Mempelajari Syari`ah dan
Adab terhadap Syekh, bagian ke-1
Mawlana Syekh Hisyam Kabbani
25 Februari 2012 Burton, Michigan
Shuhbah setelah `Isya di Masjid As-Siddiq
A`uudzu billahi min asy-Syaythaani ‘r-rajiim. Bismillahi 'r-Rahmani 'r-Rahiim. Nawaytu 'l-arba`iin, nawaytu 'l-`itikaaf, nawaytu 'l-khalwah, nawaytu 'l-`uzlah, nawaytu 'r-riyaadhah, nawaytu 's-suluuk, lillahi ta`ala fii haadza 'l-masjid.
Buku
adalah cara untuk belajar; tanpa buku kita tidak tahu apa-apa. Kalian
mungkin bertanya, mengapa engkau mengubah posisi, ketika sebelumnya kita
biasa mengatakan ‘ilmu datang melalui kalbu’ dan kini kita mengatakan
bahwa kita memerlukan buku?” Karena, dan saya bicara kepada umat Muslim
secara umum, banyak Muslim yang tidak membaca. Ada empat kelompok:
Muslim yang tidak membaca, Muslim yang membaca, Muslim
yang berbasis di tarekat yang terhormat dan mulia (Aliran Sufi) dan
membaca, dan sebagian orang di tarekat yang mengatakan mereka tidak
perlu membaca.
Tidak
semua orang sama; sebagian orang belajar dengan membaca dan bagi
sebagian Allah (swt) ingin mengungkapkan melalui kalbu mereka, sehingga
mereka tidak perlu membaca. Secara umum, mereka yang tidak perlu
membaca adalah awliya dan orang-orang biasa seperti kita memerlukan
buku. Kalian mungkin mengatakan, “Aku mengikuti aliran Sufi yang
mengajarkan tentang Ihsan.” Ketika Sayyidina Jibril (a) bertanya kepada
Nabi (s), “Apa itu Ihsan?” beliau
memberi penjelasan tentang Keadaan dari Kesempurnaan, tetapi bahkan
ketika kalian mencapai Ihsan, kalian masih memerlukan buku, bukan? Tidak
ada yang bisa hidup tanpa buku: seorang dokter tidak bisa menjadi
dokter jika dia tidak membaca buku dan seorang Muslim tidak bisa menjadi
Muslim jika dia tidak membaca buku. Karenanya, buku itu penting,
terutama bagi mereka yang mengatakan, “Kami mendapat inspirasi ketika
kami bicara.” Jika itu kasusnya, maka bagaimana dengan Buku yang Allah
(swt) turunkan kepada Nabi (s)?
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمـَنِ الرَّحِيمِ
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
Bismillahi 'r-Rahmani 'r-Rahiim. Alif. Laam. Miim. Dzalika ‘l-kitaabu laa rayba fiihi hudan li ’l-muttaqiin.
Dengan nama Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Alif. Laam. Miim. Inilah al-Kitab;
di dalamnya terdapat petunjuk yang tidak disangsikan kebenarannya bagi
orang-orang yang bertakwa. (Surat al-Baqarah, 2:1-2)
Dalam
ayat itu Allah (swt) menyebut al-Qur’an sebagai al-Kitab, atau “Buku”,
jadi bagaimana kalian berani mengatakan bahwa kalian tidak memerlukan
buku! Lalu mereka duduk dan mulai pamer dengan bicara. Allah (swt)
menurunkan satu-satunya dan Kitab yang
sesungguhnya, yakni Al-Qur’an, kepada Nabi (s). Ini tidak berlaku bagi
seluruh umat Muslim, tapi sebagian. Saya terutama mengacu pada
kelompok kita, mengatakan kepada Ahl at-Tasawwuf, orang-orang tasawuf,
bahwa buku itu penting agar kalian dapat belajar. Saya bicara kepada
mereka yang menyebut diri mereka pengikut Mawlana Syekh. Jika Mawlana
tidak memerlukan buku, mengapa rumahnya penuh buku? Beliau tidak saja
memiliki buku-buku berbahasa Arab, tetapi juga berbahasa Inggris, Jerman
dan Spanyol. Kuliahnya telah diterjemahkan ke ratusan bahasa. Jika
buku tidak penting, mengapa ajaran-ajaran ini harus diterjemahkan? Jika
buku tidak penting, mengapa rak buku dan lemarinya penuh buku-buku tua
dan manuskrip, serta ratusan catatan dari semua shuhbah Grandsyekh
`AbdAllah al-Fa'iz ad-Daghestani (q) yang ditulis tangan oleh Mawlana.
Kalian bisa menemukan ratusan buku ajaran Grandsyekh (q) yang akan
dibaca
Mawlana Syekh dari waktu ke waktu.
Jadi
jangan mengatakan, “Mengapa kita harus punya buku?” Mengapa kita
memerlukan buku? Ini adalah buku; menurut kalian mengapa kita
memerlukannya?
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ
الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
Allaahu nazzala ahsana ‘l-hadiitsi kitaaban mutasyaabihan matsaaniya taqsya`irru minhu juluudu ’Lladziina yakhsyawna rabbahum.
Allah
telah menurunkan (dari waktu ke waktu) pesan paling indah dalam bentuk
kitab yang sama tinggi nilainya, (namun) mengulang (ajarannya dalam
berbagai aspek), membuat gemetar hati orang-orang yang takut kepada
Tuhannya. (Surat az-Zumar, 39:23)
Allaahu nazzala ahsana ‘l-hadiitsi kitaaban, “Allah telah menurunkan kepada manusia hadiits, perkataan terbaik, di dalam kitaaban, sebuah buku,” taqsya`irru minhu juluudu ’Lladziina yakhshawna rabbahum,
“di mana ketika mereka membacanya, mereka merasa
gemetar,” yang artinya mereka yang menghafal atau bisa menjelaskan
Kitab Suci Al-Quran. Jadi kita harus mengatakan bahwa kita memerlukan
buku! Buku ini adalah At-Tibyaan fii Adab Hamalat al-Qur’an, Untuk Menjelaskan Klarifikasi dan Penghargaan atas Mereka yang Membawa al-Quran, oleh Imam an-Nawawi asy-Syafi`i, penulis Riyaad ash-Shaalihiin, Taman Orang-Oang yang Saleh. Saya membawanya ke sini terutama untuk menunjukkan disiplin/adab antara murid dan guru, dan bukan hanya di dalam tarekat.
Dua
hari yang lalu kita dengar di internet (dan kita akan melihat videonya
segera, insya Allah), Mawlana mengatakan dalam instruksinya, “Kita
mengikuti Syari`ah.” Kita mengikuti Syari`ah, yang menyatakan bahwa
kalian harus mengikuti arti apa pun yang Allah (swt) perintahkan kepada
Nabi (s) untuk diberikan kepada umat. Inilah
Syari`ah!
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
Wa maa ataakumu ’r-rasuulu fakhudzuuhu wa maa
nahaakum `anhu fantahuu.
Tinggalkan apa yang dilarang Nabi (s) dan terimalah apa yang diperintahkan. (Surat al-Hasyr, 59:7)
Apa
pun yang diberikan Nabi (s) terimalah, dan apa pun yang dilarangnya,
tinggalkan. Karena itu, kita harus mengikuti apa yang beliau
perintahkan. Ini artinya tidak saja orang-orang tarekat harus menghargai
antara murid
dan guru, tetapi juga guru-guru ilmu zahir, yakni pengetahuan fisik.
Ada zahir, pengetahuan fisik yang bisa kalian bagi dengan semua orang,
pengetahuan umum, dan juga ada batin, pengetahuan tersembunyi, realitas
atau interpretasi ayat-ayat suci al-Quran, yang tidak dapat kalian
ungkapkan kecuali ke beberapa orang. Kedua pengetahuan tersebut
memerintahkan kalian untuk memiliki disiplin antara murid dan guru.
Saya
membawa ilmu ini karena banyak orang berpikir bahwa hanya orang-orang
tarekat yang menghargai syuyukh mereka, tetapi dalam kenyataannya ini
tidak benar karena baik orang-orang tarekat maupun
non-tarekat harus menghargai ajaran syuyukh mereka. Ini benar dari
kedua sisi, dari ilmu zahir, pengetahuan normal dan dalam tarekat.
Kalian harus menghargai Syekh Sufi sebagai guru, wa min al-adaab bayn al-muriidi wasy-syaykh, berkenaan dengan adab antara murid dan syekh. Saya akan menjelaskan apa yang Imam an-Nawawi (r) jelaskan dalam bukunya At-Tibyaan fii Adab Hamalat al-Qur’an,
untuk mengajarkan kalian adab yang baik ketika berada di hadapan syekh.
Itu untuk zahir dan bukan untuk awliyaullah, karena kalian harus jauh
lebih hati-hati dalam setiap
gerakan yang kalian lakukan di hadapan mereka.
Bahkan
jika seorang guru bukan wali, ketika dia mengatakan sesuatu artinya
kalian harus mengikutinya. Kalian tidak bisa mengatakan kepada guru itu
di dalam kelas, “Yang engkau katakan salah,” atau kalian akan mendapat
nilai buruk. Apa pun yang yang dia katakan, kalian harus menerimanya
atau gagal di kelas itu; kalian tidak bisa mengatakan, “Tidak.” Dia
menjelaskan pelajarannya dan hari berikutnya kalian mendapat tes dan
kalian harus
menjelaskan apa yang yang dia katakan, kalau tidak kalian mendapat
nilai ‘F’. Tetapi karena awliyaullah berhati besar, mereka berusaha
untuk menutupi kesalahan para pengikutnya. Namun, jika seseorang
melewati batas pada titik tertentu, syekh itu mengatakan, “Sudah cukup!
Aku tidak mau orang semacam itu hadir di area ini. Pergi!” Mereka
harus menuruti perintah itu dan pergi.
Jadi apa yang Imam Nawawi (r), yang berasal dari aliran Syafi'i, katakan? Salah satu murid Imam as-Syafi’i, ar-Rabi,
mengatakan, “Rahimahullah, masytardtu an asyrab al-maa wa wa asy-Syafi`ii yandzuru ilaya,
aku tidak berani minum air di depan Imam Syafi’i ketika dia sedang
memandangku karena aku menghargainya.” Dia bahkan tidak minum air, dan
di sini mereka duduk bersama Mawlana Syekh, wali dan Sultan al-Awliya
dan mereka mungkin tidak berwudu! Orang-orang minum, bicara dan
bersosialisasi sementara syekhnya duduk dan mendengarkan. Berapa banyak
beban yang datang padanya, sementara ar-Rabi mengatakan, “Aku tidak
berani minum air di depannya.” Bagaimana kalian bisa membandingkan
situasinya jika tidak mempunyai buku untuk belajar? Jika kalian tidak
tahu bagaimana generasi sebelumnya bersikap kepada syuyukh mereka,
bagaimana kalian akan belajar cara
bersikap kepada syekh kalian? Karena itu buku penting bagi kita dan
kita harus membaca dan belajar apa yang telah mereka lakukan sebelum
kita, jadi kita bisa mengikutinya.
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Qul in kuntum tuhibbuuna 'Llaaha fattabi`uunii yuhbibkumullaahu wa yaghfir lakum dzunuubakum w 'Allaahu Ghafuuru 'r-Rahiim.
Katakanlah
(hai Muhammad), “Jika kamu (sungguh) mencintai Allah, maka ikutilah
aku! Allah akan mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu, dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Surat Aali-`Imraan,
3:31)
Mereka
mengikuti Rasulullah (s) dan masyaikh. Berapa banyak orang yang duduk
di depan syekh seakan-akan mereka keluarganya? Anggota keluarga syekh
punya hak untuk melakukan apa pun di depan ayah mereka karena hal itu
normal dan bisa diterima, tetapi ini tidak benar bagi murid biasa, yang
diharuskan duduk dengan adab di hadapan syekhnya. Lebih jauh lagi,
kalian harus memiliki disiplin dan tidak meninggikan suara kalian, baik
pria ataupun wanita. Jika kita tidak menjaga prinsip-prinsip ini dan
masalah-masalah kecil, bagaimana kita bisa mengatasi masalah-masalah
besar?
Itu
diriwayatkan oleh Penghulu Kaum Beriman, “Sayyidina Ali (r ), dan saya
sudah sering mendengarnya dari Grandsyekh, semoga Allah merahmatinya.
Zawiya Grandsyekh kira-kira sebesar ini dan di sisi-sisinya terdapat
bantalan-bantalan seperti ini tempat orang-orang duduk, tanpa
percampuran antara pria dan wanita. Tidak ada wanita yang hadir karena
mereka punya bagian sendiri; Syaria`ah mengatakan wanita dan pria harus
terpisah. Wanita berkumpul setiap hari Senin, dan pria setiap hari
Jumat. Untuk para wanita beliau memerintahkan Hajah Anne (q), istri
Mawlana Syekh Nazim (q), ibu Hajah Naziha, untuk membaca
zikir di rumahnya. Bahkan Mawlana Syekh tidak diizinkan berada di
rumah selama zikir; jika ada di rumah, beliau harus tetap berada di
lantai atas, di area pribadinya selama tiga jam, duduk sampai para
wanita selesai zikir, makan dan pergi, dan setelah itu barulah beliau
diizinkan untuk turun.
Di
mana Syari`ah sekarang ini? Prinsip-prinsip ini adalah masalah-masalah
kecil dan Mawlana membawa begitu banyak kesulitan dari mereka yang
tidak mengerti hidupnya bersama Mawlana Syekh `AbdAllah (q). Mereka
pikir mereka sangat dekat dengan syekh! Mereka tidak menjaga Syari`ah,
dan Mawlana memberi instruksi
pada hari Jumat, dua hari lalu, untuk memastikan orang-orang memahami
bahwa mereka harus mengikuti Syari`ah sepenuhnya.
Saya mendengar dan menyaksikan Grandsyekh, semoga Allah memberkahinya, sering mengatakan dalam shuhbah-nya,
“Ketika seseorang datang, jangan melihat ke sana karena dalam tarekat
itu bertentangan dengan Syari`ah.” Kalian harus fokus hanya kepada
Syekh, bukan kepada siapa yang datang dan siapa yang pergi; itu
bukan urusan kita. Namun, sekarang tidak apa-apa karena kita sedang
belajar. Dia mengatakan bahkan jika tidak adashuhbah dan
orang-orang hanya duduk, minum teh bersama syekh, jika syekh mengatakan
sesuatu mereka mendengarkan dengan penuh penghargaan dan mereka tidak
berhak melihat siapa pun yang datang karena fokus mereka adalah kepada
syekh.
Jika seseorang masuk, dia mengucapkan “Assalamu’alaikum,”
dalam hati agar tidak mengganggu majelis, lalu jika memungkinkan (jika
ada jalan untuk dilewati) dia datang langsung kepada syekh untuk mencium
tangannya, meskipun jika tidak melakukannya tidak apa-apa, dan dia
mengucapkan “Assalamu’alaikum,” hanya kepada syekh, lalu dia mencari tempat duduk yang kosong dan duduk. Dia tidak datang dan mengucapkan, “Assalamu’alaikum,”
kepada semua orang, hal itu
mengganggu seluruh majelis! Sering terjadi bahwa orang-orang datang
ketika syekh sedang duduk dan mereka bersalaman dengan semua orang,
mengucapkan, “Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu!” Syekh melihat
siapa yang menjaga adab dan siapa yang tidak. Awliyaullah memiliki
skala surgawi sendiri yang pernah saya lihat dan dengar.
Juga, Grandsyekh (q) mengatakan, “Ketika aku memberi shuhbah, jangan turunkan
tingkatnya. Bahkan jika kalian menggaruk kepala kalian, kekuatanshuhbah itu turun tujuh tingkatan.” Setan selalu datang ke dalam shuhbah untuk
membuat sedikit rasa di sini dan di sana, mengganggu kalian sehingga
kalian menggaruk dan bergerak. Kalian banyak melihat hal itu ketika
orang sedang salat, meski saya tidak ingin menyebut siapa yang
melakukannya! Terlalu sering kalian melihat mereka menggaruk, bergerak,
dan menyisir janggut mereka! Kalian lihat itu? (Mawlana menyentuh
janggutnya dan merapikan pakaiannya.) Mereka terlalu banyak
bergerak, dan tiga harakat (gerakan) akan membatalkan salat.
Apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ali ( r)? Min haqq al-`alim `alayk, “dari hak para alim terhadapmu,” an tusalimma `an an-naasi `amaatan wa tukhusahu duuna hum bi-t-tahiyyah, “kalian seharusnya mengatakan, ‘Assalamu’alaikum,’
kepada semua orang secara kolektif, tapi kalian memberi penghormatan
khusus dan salam kepada guru atau ulama; kalian datang ke hadapannya dan
memberi salam kepadanya saja, tidak kepada semua orang.” Imam an-Nawawi
(r ) dalam bukunya menyebutkan bahwa hal itu didapat dari Sayyidina Ali
(r ). Jadi kita memerlukan buku atau tidak? Ya! Buku ini menjelaskan
cara berhubungan dengan guru kita. Ketika kalian duduk di depan Syekh,
artinya kalian menghadapnya, seperti orang yang duduk paling jauh di
belakang sana.
Jika syekh menghadap ke arah sini, artinya bahwa di mana pun kalian
menemukan tempat duduk, duduklah dan menghadapnya; jangan berikan
punggung kalian kepadanya dan jangan duduk menyamping. Terlalu banyak
orang duduk menyamping dan merentangkan kaki mereka yang bau ke depan
wajah orang-orang! Itu semua tidak menghormati orang.
- Jangan menunjuk atau melambaikan tangan pada siapa pun jika ada syekh. Kadang-kadang kalian memerlukan sesuatu dari seseorang dan kalian melambai kepadanya, tetapi itu tidak diizinkan. Berapa sering kita melakukan itu? Setiap saat! Jadi apakah kita mempunyai disiplin? Kita berusaha, tetapi belum (mempunyai disiplin).
- Jangan mengedip kepada seseorang sebagai ucapan salam dalam majelis syekh.
- Laa taqulu fulaan qaala khilaafan li qawlik. Jika guru mengatakan sesuatu, jangan katakan kepadanya, karena hanya ulama yang bisa mengajarkan ulama lain, “Ulama ini mengatakan sesuatu yang berbeda dari yang engkau katakan.” Itu adalah penghinaan.
- wa laa taghtaab fii haadratihi abadan, “Dalam kehadirannya, jangan menggunjingkan orang lain.” Berapa banyak orang datang kepada syekh dan mengatakan, “Orang ini mengatakan ini, dan yang itu mengatakan itu.”
- Ketika kalian berada dalam perkumpulan semacam itu, jangan bicara kepada teman kalian tentang suatu masalah atau mendiskusikan sesuatu yang kalian butuhkan. Diamlah.
- Jangan memegangi jubah syekh ketika dia berdiri agar kalian bisa menciumnya untuk mendapat berkah. Jangan lakukan itu, tetapi hormati dan jagalah jarak kalian. Jika kalian melakukannya, rasa hormat semakin rendah. Jaga penghormatan kalian dengan penuh adab. Siapa yang melakukan itu sekarang?
- Wa laa tu`rad `anhu, dan jangan berpikir kalian sudah duduk terlalu lama dalam shuhbah-nya, bahwa itu sudah cukup; semakin lama kalian duduk, semakin baik.
Jadi
inilah nasihat Sayyidina Ali (r) kepada para Sahabat (r), untuk
mengajarkan mereka. Insya Allah kita akan lanjutkan lain kali. Kita
bacakan ini untuk menunjukkan betapa pentingnya menjalankan perintah
syekh untuk menjaga Syari`ah.
Salah
satu poin Syari`ah yang diinstruksikan Mawlana untuk dijaga adalah
untuk menghormati prinsip apa yang kita sebut mahram. Ketika seorang
wanita ingin pergi haji, mereka menyuruhnya, “Bawa seorang mahram: ayah
kalian, paman kalian, saudara laki-laki, atau saudara ipar laki-laki.”
Orang-orang tersebut adalah mahram kalian, yang artinya seseorang yang
tidak bisa kalian nikahi. Berkenaan dengan wilayah pribadi keluarga
syekh, jangan melewatinya jika kalian bukan berasal dari keluarga asli
karena itu bertentangan dengan Syari`ah. Itu disebut haram, artinya
haram untuk memasuki tempat tinggal syekh di mana kalian dapat menjumpai
istrinya, anak perempuannya, anak laki-laki dan istri mereka, serta
seluruh keluarganya karena itu melampaui batas. Hati-hati jangan
melampaui batas! Jangan bergabung dengan keluarganya karena kalian
bukan keluarga! Apa yang Allah (swt) katakan tentang ini dalam
al-Qur’an?
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَن
يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا
دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانتَشِرُوا وَلَا
مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ
فَيَسْتَحْيِي مِنكُمْ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا
سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاء حِجَابٍ ذَلِكُمْ
أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَن تُؤْذُوا
رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَدًا
إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمًا
Yaa
ayyuha ’Lladziina aamanuu laa tadkhuloo buyuut an-nabiyyi illa an
yu’dzana lakum ilaa tha`amin ghayra nazhiriina inaahu wa laakin idzaa
du`iitum fadkhuluu fa’idzaa tha`imtum fantashiruu wa laa mustaanisiina
li-hadiitsin inna dzaalikum kaana yu’dzi ‘n-nabiyya fa-yastahiyy minkum
wa Allahu laa yastahiy min al-haqqi wa idzaa sa’altumuuhunna mata`an
fas’alzuuhunna min waraai hijaabin dzalikum ath-haru li-quluubikum wa
quluubihinna wa maa kaana lakum an tu’dzuu rasuulallahi wa laa an
tankihuu azwaajahu min ba`dihi abadan inna dzalikum kaana `indallahi
`azhiiman.
Hai
orang-orang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah Nabi, kecuali jika
kamu telah diizinkan (dijamu) untuk makan, jangan datang (terlalu awal)
hingga harus menunggu masakan siap. Tapi apabila kamu diundang, masuklah
(pada waktu yang sesuai), dan ketika sudah selesai makan, hendaklah
kamu pergi, tanpa berlama-lama untuk berbincang-bincang, karena hal itu
akan mengganggu Nabi, dan dia malu untuk memintamu pergi. Tapi Allah
tidak malu mengajarkan apa yang benar. Dan jika Anda meminta sesuatu
kepada istri-istri Nabi, hendaklah kamu meminta dari belakang tirai; Ini
akan memperdalam kebersihan hatimu dan hati mereka. Dilarang bagimu
untuk menyakiti hati Rasulullah dan dilarang pula
menikahi istri-istrinya sesudah Nabi wafat. Sesungguhnya, perbuatan
yang demikian besar sekali dosanya di sisi Allah! (Surat al-Ahzab, 33:53)
Sudah jelas: “Hai orang-orang beriman! Jangan memasuki rumah-rumah Nabi kecuali diizinkan.”
Jangan
pergi dan masuk sendiri, seperti sebagian orang, yang mengatakan, “Oh!
Tidak apa-apa bercampur karena sekarang abad ke-21, tidak masalah.” Apa
yang Allah katakan? “Hai orang-orang beriman! Jangan memasuki
rumah-rumah Nabi sampai kamu diberi izin.” Jika kalian diberi izin tidak
apa-apa; artinya Nabi memberi izin dan itu Syari`ah. Jadi itu artinya,
“Kalian tidak diizinkan memasuki rumahku sampai aku mengizinkan.”
Orang-orang
sekarang terus datang, terutama di rumah syekh, karena mereka pikir itu
tidak apa-apa, tetapi itu tidak boleh.
Mungkin putrinya, atau cucu perempuannya, istrinya, saudarinya,
bibinya atau neneknya sedang berbusana kurang pantas, jadi bagaimana
kalian bisa masuk ke dalam? Bukan begitu? Bagaimana kalian bisa masuk
tanpa diberi izin? Kalian melihat orang-orang datang dan pergi tanpa
diberi izin, jadi Mawlana mengatakan, “Aku mengambil banyak dan memikul
banyak beban dari kalian. Hentikan!”
Apa
yang Allah (swt) katakan dalam Al-Qur’an? “Datanglah ketika diberi
izin dan ketika kamu datang untuk jamuan, datanglah pada saat hidangan
telah siap.” Memangnya siapa kalian untuk bersosialisasi?
Bukan karena kalian tidak terhormat, tetapi Islam adalah Islam. Allah
(swt) lalu mengatakan, "Dan jangan datang terlalu awal hingga harus
menunggu hidangan disiapkan, tetapi ketika diundang, masuklah."
Sekarang ini setan mengatakan, "Bawa pembangkit selera, untuk
memperpanjang waktu sosialisasimu." Jika kalian perlu bersosialisasi,
pergi dan lakukan dengan orang yang ingin kalian dekati, bukan di rumah
syekh! “Tetapi ketika kamu diundang, masuklah, dan ketika sudah selesai
makan, pergilah tanpa berbincang-bincang…” Jadi makan lalu pergi,
jangan duduk dan bersosialisasi.
Sekarang
ini mereka
duduk dan mengobrol. Sekarang ini semua mengobrol di Internet, “Aku
mencintaimu dan kamu mencintaiku,” menyanyikan lagu-lagu dan saya tidak
tahu apa lagi. Dalam Al-Qur’an dikatakan, “Perilaku seperti itu
menggangu Nabi (s) dan beliau malu untuk menyuruhmu pergi, tetapi Allah
tidak malu mengatakan kebenaran. Dan ketika kamu meminta sesuatu dari
istri-istrinya, mintalah dari belakang tirai.” Ini artinya kalian harus
meminta dari balik tirai, tidak berhadapan. Nabi (s) dan Allah (swt)
tidak menyukai hal itu, jadi Islam tidak mengizinkan itu kecuali kalian
diberi izin; maka itu dibolehkan dan kita tidak dapat ikut campur,
tetapi jika izin itu tidak diberikan, jaga batasan kalian karena, “hal
itu akan memperdalam kebersihan hati kalian dan hati mereka, dan tidak
dibenarkan bagi kalian untuk mengganggu Rasulullah (s), atau menikahi
janda-jandanya sesudah Nabi (s) wafat. Sesungguhnya hal semacam itu
besar sekali
dosanya di sisi Allah."
Itulah
disiplin, dan ayat Al-Qur’an ini menunjukkan kepada kita bahwa kita
kurang disiplin dan kita perlu banyak belajar dari buku-buku Syari`ah,
setidaknya untuk mengetahui disiplin. Dulu saya sering mengatakan
mereka tidak memberi bay’at kepada siapa pun sampai mereka mempelajari
Syari`ah. Grandsyekh (q) tidak memberi bay’at kepada siapa pun, kecuali
dua orang, tetapi sekarang hal itu seperti menjual lobak. “Bay’at,
bay’at!” Lebih baik memberi mereka lobak atau bit!
Sekarang
ini, apa itu bay’at? “Letakkan tanganmu di tongkat dan berbay’at.”
Apakah itu bay’at? Begitu sederhana, tetapi Mawlana memberinya secara
luas di masa yang penuh kebodohan dan ketidakpedulian ini untuk
menyebarkan rahmat dan berkah. Dalam setiap waktu, bay’at memiliki
prinsip dan artinya sendiri, tetapi kita harus tahu bahwa kita perlu
belajar. Ketika kalian sakit, mengapa kalian pergi ke dokter? Dia
orang biasa seperti kalian dan saya, tetapi dia membaca buku-buku dari
sini sampai ke atap untuk menjadi dokter dengan belajar! Kalian ingin
menjadi syekh atau guru tetapi kalian tidak tahu apa pun dari Syari’ah,
jadi didiklah diri kalian sendiri dan belajar.
Sebuah ayat dalam Kitab Suci al-Qur’an mengatakan, “Iqra! Bacalah!”
اقْرَأْ بِاسْمِ
رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bismillahi 'r-Rahmaani 'r-Rahiim. Iqraa bismi rabbik alladzii khalaq.
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. (Surat al-`Alaq, 96:1)
Allah
(swt) mengatakan kepada Nabi (s), “Bacalah!” tetapi kita berkata,
“Jangan membaca.” Siapa pun yang tidak membuka buku yang memberi
penjelasan dari Syari`ah tidak berhak untuk masuk tarekat!
Wa min Allahi 't-tawfiiq, bi hurmati 'l-habiib, bi hurmati 'l-Fatihah.
© Copyright 2012 Sufilive. This transcript is protected by international copyright law.
Please attribute Sufilive when sharing it. JazakAllahu khayr.
0 komentar:
Posting Komentar