Kamis, 26 April 2012

Membaca Buku untuk Mempelajari Syari`ah dan Adab terhadap Syekh, bagian ke-1


Membaca Buku untuk Mempelajari Syari`ah dan
Adab terhadap Syekh, bagian ke-1
Mawlana Syekh Hisyam Kabbani
25 Februari 2012     Burton, Michigan
Shuhbah setelah `Isya di Masjid As-Siddiq

A`uudzu billahi min asy-Syaythaani ‘r-rajiim. Bismillahi 'r-Rahmani 'r-Rahiim. Nawaytu 'l-arba`iin, nawaytu 'l-`itikaaf, nawaytu 'l-khalwah, nawaytu 'l-`uzlah, nawaytu 'r-riyaadhah, nawaytu 's-suluuk, lillahi ta`ala fii haadza 'l-masjid.
Buku adalah cara untuk belajar; tanpa buku kita tidak tahu apa-apa.  Kalian mungkin bertanya, mengapa engkau mengubah posisi, ketika sebelumnya kita biasa mengatakan ‘ilmu datang melalui kalbu’ dan kini kita mengatakan bahwa kita memerlukan buku?” Karena, dan saya bicara kepada umat Muslim secara umum, banyak Muslim yang tidak membaca.  Ada empat kelompok: Muslim yang tidak membaca, Muslim yang membaca, Muslim yang berbasis di tarekat yang terhormat dan mulia (Aliran Sufi) dan membaca, dan sebagian orang di tarekat yang mengatakan mereka tidak perlu membaca.
Tidak semua orang sama; sebagian orang belajar dengan membaca dan bagi sebagian Allah (swt) ingin mengungkapkan melalui kalbu mereka, sehingga mereka tidak perlu membaca.  Secara umum, mereka yang tidak perlu membaca adalah awliya dan orang-orang biasa seperti kita memerlukan buku.  Kalian mungkin mengatakan, “Aku mengikuti aliran Sufi yang mengajarkan tentang Ihsan.”  Ketika Sayyidina Jibril (a) bertanya kepada Nabi (s), “Apa itu Ihsan?” beliau memberi penjelasan tentang Keadaan dari Kesempurnaan, tetapi bahkan ketika kalian mencapai Ihsan, kalian masih memerlukan buku, bukan? Tidak ada yang bisa hidup tanpa buku: seorang dokter tidak bisa menjadi dokter jika dia tidak membaca buku dan seorang Muslim tidak bisa menjadi Muslim jika dia tidak membaca buku. Karenanya, buku itu penting, terutama bagi mereka yang mengatakan, “Kami mendapat inspirasi ketika kami bicara.”  Jika itu kasusnya, maka bagaimana dengan Buku yang Allah (swt) turunkan kepada Nabi (s)?
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمـَنِ الرَّحِيمِ
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
Bismillahi 'r-Rahmani 'r-Rahiim. Alif. Laam. Miim. Dzalika ‘l-kitaabu laa rayba fiihi hudan li ’l-muttaqiin.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Alif. Laam. Miim. Inilah al-Kitab; di dalamnya terdapat petunjuk yang tidak disangsikan kebenarannya bagi orang-orang yang bertakwa. (Surat al-Baqarah, 2:1-2)
Dalam ayat itu Allah (swt) menyebut al-Qur’an sebagai al-Kitab, atau “Buku”, jadi bagaimana kalian berani mengatakan bahwa kalian tidak memerlukan buku!  Lalu mereka duduk dan mulai pamer dengan bicara.  Allah (swt) menurunkan satu-satunya dan Kitab yang sesungguhnya, yakni Al-Qur’an, kepada Nabi (s).  Ini tidak berlaku bagi seluruh umat Muslim, tapi sebagian.  Saya terutama mengacu pada kelompok kita, mengatakan kepada Ahl at-Tasawwuf, orang-orang tasawuf, bahwa buku itu penting agar kalian dapat belajar.  Saya bicara kepada mereka yang menyebut diri mereka pengikut Mawlana Syekh.  Jika Mawlana tidak memerlukan buku, mengapa rumahnya penuh buku?  Beliau tidak saja memiliki buku-buku berbahasa Arab, tetapi juga berbahasa Inggris, Jerman dan Spanyol.  Kuliahnya telah diterjemahkan ke ratusan bahasa.  Jika buku tidak penting, mengapa ajaran-ajaran ini harus diterjemahkan?  Jika buku tidak penting, mengapa rak buku dan lemarinya penuh buku-buku tua dan manuskrip, serta ratusan catatan dari semua shuhbah Grandsyekh `AbdAllah al-Fa'iz ad-Daghestani (q) yang ditulis tangan oleh Mawlana.  Kalian bisa menemukan ratusan buku ajaran Grandsyekh (q) yang akan dibaca  Mawlana Syekh dari waktu ke waktu.
Jadi jangan mengatakan, “Mengapa kita harus punya buku?” Mengapa kita memerlukan buku?  Ini adalah buku; menurut kalian mengapa kita memerlukannya?
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
Allaahu nazzala ahsana ‘l-hadiitsi kitaaban mutasyaabihan matsaaniya taqsya`irru minhu juluudu ’Lladziina yakhsyawna rabbahum.
Allah telah menurunkan (dari waktu ke waktu) pesan paling indah dalam bentuk kitab yang sama tinggi nilainya, (namun) mengulang (ajarannya dalam berbagai aspek), membuat gemetar hati orang-orang yang takut kepada Tuhannya.   (Surat az-Zumar, 39:23)
Allaahu nazzala ahsana ‘l-hadiitsi kitaaban, “Allah telah menurunkan kepada manusia hadiits, perkataan terbaik, di dalam kitaaban, sebuah buku,”  taqsya`irru minhu juluudu ’Lladziina yakhshawna rabbahum, “di mana ketika mereka membacanya, mereka merasa gemetar,” yang artinya mereka yang menghafal atau bisa menjelaskan Kitab Suci Al-Quran. Jadi kita harus mengatakan bahwa kita memerlukan buku! Buku ini adalah At-Tibyaan fii Adab Hamalat al-Qur’an, Untuk Menjelaskan Klarifikasi dan Penghargaan atas Mereka yang Membawa al-Quran, oleh Imam an-Nawawi asy-Syafi`i, penulis Riyaad ash-Shaalihiin, Taman Orang-Oang yang Saleh.  Saya membawanya ke sini terutama untuk menunjukkan disiplin/adab antara murid dan guru, dan bukan hanya di dalam tarekat.
Dua hari yang lalu kita dengar di internet (dan kita akan melihat videonya segera, insya Allah), Mawlana mengatakan dalam instruksinya, “Kita mengikuti Syari`ah.”  Kita mengikuti Syari`ah, yang menyatakan bahwa kalian harus mengikuti arti apa pun yang Allah (swt) perintahkan kepada Nabi (s) untuk diberikan kepada umat.  Inilah Syari`ah!
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
Wa maa ataakumu ’r-rasuulu fakhudzuuhu wa maa nahaakum `anhu fantahuu.
Tinggalkan apa yang dilarang Nabi (s) dan terimalah apa yang diperintahkan.   (Surat al-Hasyr, 59:7)
Apa pun yang diberikan Nabi (s) terimalah, dan apa pun yang dilarangnya, tinggalkan. Karena itu, kita harus mengikuti apa yang beliau perintahkan. Ini artinya tidak saja orang-orang tarekat harus menghargai antara murid dan guru, tetapi juga guru-guru ilmu zahir, yakni pengetahuan fisik.  Ada zahir, pengetahuan fisik yang bisa kalian bagi dengan semua orang, pengetahuan umum, dan juga ada batin, pengetahuan tersembunyi, realitas atau interpretasi ayat-ayat suci al-Quran, yang tidak dapat kalian ungkapkan kecuali ke beberapa orang. Kedua pengetahuan tersebut memerintahkan kalian untuk memiliki disiplin antara murid dan guru.
Saya membawa ilmu ini karena banyak orang berpikir bahwa hanya orang-orang tarekat yang menghargai syuyukh mereka, tetapi dalam kenyataannya ini tidak benar karena baik orang-orang tarekat maupun non-tarekat harus menghargai ajaran syuyukh mereka.  Ini benar dari kedua sisi, dari ilmu zahir, pengetahuan normal dan dalam tarekat.  Kalian harus menghargai Syekh Sufi sebagai guru, wa min al-adaab bayn al-muriidi wasy-syaykh, berkenaan dengan adab antara murid dan syekh. Saya akan menjelaskan apa yang Imam an-Nawawi (r) jelaskan dalam bukunya At-Tibyaan fii Adab Hamalat al-Qur’an, untuk mengajarkan kalian adab yang baik ketika berada di hadapan syekh.  Itu untuk zahir dan bukan untuk awliyaullah, karena kalian harus jauh lebih hati-hati dalam setiap gerakan yang kalian lakukan di hadapan mereka.
Bahkan jika seorang guru bukan wali, ketika dia mengatakan sesuatu artinya kalian harus mengikutinya. Kalian tidak bisa mengatakan kepada guru itu di dalam kelas, “Yang engkau katakan salah,” atau kalian akan mendapat nilai buruk. Apa pun yang yang dia katakan, kalian harus menerimanya atau gagal di kelas itu; kalian tidak bisa mengatakan, “Tidak.”  Dia menjelaskan pelajarannya dan hari berikutnya kalian mendapat tes dan kalian harus menjelaskan apa yang yang dia katakan, kalau tidak kalian mendapat nilai ‘F’. Tetapi karena awliyaullah berhati besar, mereka berusaha untuk menutupi kesalahan para pengikutnya.  Namun, jika seseorang melewati batas pada titik tertentu, syekh itu mengatakan, “Sudah cukup!  Aku tidak mau orang semacam itu hadir di area ini.  Pergi!”  Mereka harus menuruti perintah itu dan pergi.
Jadi apa yang Imam Nawawi (r), yang berasal dari aliran Syafi'i, katakan?  Salah satu murid Imam as-Syafi’i, ar-Rabi, mengatakan, “Rahimahullah, masytardtu an asyrab al-maa wa wa asy-Syafi`ii yandzuru ilaya, aku tidak berani minum air di depan Imam Syafi’i ketika dia sedang memandangku karena aku menghargainya.”  Dia bahkan tidak minum air, dan di sini mereka duduk bersama Mawlana Syekh, wali dan Sultan al-Awliya dan mereka mungkin tidak berwudu!  Orang-orang minum, bicara dan bersosialisasi sementara syekhnya duduk dan mendengarkan.  Berapa banyak beban yang datang padanya, sementara ar-Rabi mengatakan, “Aku tidak berani minum air di depannya.”  Bagaimana kalian bisa membandingkan situasinya jika tidak mempunyai buku untuk belajar?  Jika kalian tidak tahu bagaimana generasi sebelumnya bersikap kepada syuyukh mereka, bagaimana kalian akan belajar cara bersikap kepada syekh kalian?  Karena itu buku penting bagi kita dan kita harus membaca dan belajar apa yang telah mereka lakukan sebelum kita, jadi kita bisa mengikutinya.
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Qul in kuntum tuhibbuuna 'Llaaha fattabi`uunii yuhbibkumullaahu wa yaghfir lakum dzunuubakum w 'Allaahu Ghafuuru 'r-Rahiim.
Katakanlah (hai Muhammad), “Jika kamu (sungguh) mencintai Allah, maka ikutilah aku! Allah akan mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Surat Aali-`Imraan, 3:31)
Mereka mengikuti Rasulullah (s) dan masyaikh.  Berapa banyak orang yang duduk di depan syekh seakan-akan mereka keluarganya?  Anggota keluarga syekh punya hak untuk melakukan apa pun di depan ayah mereka karena hal itu normal dan bisa diterima, tetapi ini tidak benar bagi murid biasa, yang diharuskan duduk dengan adab di hadapan syekhnya.  Lebih jauh lagi, kalian harus memiliki disiplin dan tidak meninggikan suara kalian, baik pria ataupun wanita.  Jika kita tidak menjaga prinsip-prinsip ini dan masalah-masalah kecil, bagaimana kita bisa mengatasi masalah-masalah besar?
Itu diriwayatkan oleh Penghulu Kaum Beriman, “Sayyidina Ali (r ), dan saya sudah sering mendengarnya dari Grandsyekh, semoga Allah merahmatinya.  Zawiya Grandsyekh kira-kira sebesar ini dan di sisi-sisinya terdapat bantalan-bantalan seperti ini tempat orang-orang duduk, tanpa percampuran antara pria dan wanita.  Tidak ada wanita yang hadir karena mereka punya bagian sendiri; Syaria`ah mengatakan wanita dan pria harus terpisah.  Wanita berkumpul setiap hari Senin, dan pria setiap hari Jumat.  Untuk para wanita beliau memerintahkan Hajah Anne (q), istri Mawlana Syekh Nazim (q), ibu Hajah Naziha, untuk membaca zikir di rumahnya.  Bahkan Mawlana Syekh tidak diizinkan berada di rumah selama zikir; jika ada di rumah, beliau harus tetap berada di lantai atas, di area pribadinya selama tiga jam, duduk sampai para wanita selesai zikir, makan dan pergi, dan setelah itu barulah beliau diizinkan untuk turun.
Di mana Syari`ah sekarang ini?  Prinsip-prinsip ini adalah masalah-masalah kecil dan Mawlana membawa begitu banyak kesulitan dari mereka yang tidak mengerti hidupnya bersama Mawlana Syekh `AbdAllah (q).  Mereka pikir mereka sangat dekat dengan syekh!  Mereka tidak menjaga Syari`ah, dan Mawlana memberi instruksi pada hari Jumat, dua hari lalu, untuk memastikan orang-orang memahami bahwa mereka harus mengikuti Syari`ah sepenuhnya.
Saya mendengar dan menyaksikan Grandsyekh, semoga Allah memberkahinya, sering mengatakan dalam shuhbah-nya, “Ketika seseorang datang, jangan melihat ke sana karena dalam tarekat itu bertentangan dengan Syari`ah.”  Kalian harus fokus hanya kepada Syekh, bukan kepada siapa yang datang dan siapa yang pergi; itu bukan urusan kita.  Namun, sekarang tidak apa-apa karena kita sedang belajar.  Dia mengatakan bahkan jika tidak adashuhbah dan orang-orang hanya duduk, minum teh bersama syekh, jika syekh mengatakan sesuatu mereka mendengarkan dengan penuh penghargaan dan mereka tidak berhak melihat siapa pun yang datang karena fokus mereka adalah kepada syekh.
Jika seseorang masuk, dia mengucapkan “Assalamu’alaikum,” dalam hati agar tidak mengganggu majelis, lalu jika memungkinkan (jika ada jalan untuk dilewati) dia datang langsung kepada syekh untuk mencium tangannya, meskipun jika tidak melakukannya tidak apa-apa, dan dia mengucapkan “Assalamu’alaikum,” hanya kepada syekh, lalu dia mencari tempat duduk yang kosong dan duduk.  Dia tidak datang dan mengucapkan, “Assalamu’alaikum,” kepada semua orang, hal itu mengganggu seluruh majelis!  Sering terjadi bahwa orang-orang datang ketika syekh sedang duduk dan mereka bersalaman dengan semua orang, mengucapkan, “Apa kabar?  Sudah lama tidak bertemu!”  Syekh melihat siapa yang menjaga adab dan siapa yang tidak.  Awliyaullah memiliki skala surgawi sendiri yang pernah saya lihat dan dengar.
Juga, Grandsyekh (q) mengatakan, “Ketika aku memberi shuhbah, jangan turunkan tingkatnya.  Bahkan jika kalian menggaruk kepala kalian, kekuatanshuhbah itu turun tujuh tingkatan.”  Setan selalu datang ke dalam shuhbah untuk membuat sedikit rasa di sini dan di sana, mengganggu kalian sehingga  kalian menggaruk dan bergerak.  Kalian banyak melihat hal itu ketika orang sedang salat, meski saya tidak ingin menyebut siapa yang melakukannya!  Terlalu sering kalian melihat mereka menggaruk, bergerak, dan menyisir janggut mereka!  Kalian lihat itu? (Mawlana menyentuh janggutnya dan merapikan pakaiannya.)  Mereka terlalu banyak bergerak, dan tiga harakat (gerakan) akan membatalkan salat.
Apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ali ( r)?  Min haqq al-`alim `alayk, “dari hak para alim terhadapmu,” an tusalimma `an an-naasi `amaatan wa tukhusahu duuna hum bi-t-tahiyyah, “kalian seharusnya mengatakan, ‘Assalamu’alaikum,’ kepada semua orang secara kolektif, tapi kalian memberi penghormatan khusus dan salam kepada guru atau ulama; kalian datang ke hadapannya dan memberi salam kepadanya saja, tidak kepada semua orang.” Imam an-Nawawi (r ) dalam bukunya menyebutkan bahwa hal itu didapat dari Sayyidina Ali (r ).  Jadi kita memerlukan buku atau tidak?  Ya! Buku ini menjelaskan cara berhubungan dengan guru kita.  Ketika kalian duduk di depan Syekh, artinya kalian menghadapnya, seperti orang yang duduk paling jauh di belakang sana.  Jika syekh menghadap ke arah sini, artinya bahwa di mana pun kalian menemukan tempat duduk, duduklah dan menghadapnya; jangan berikan punggung kalian kepadanya dan jangan duduk menyamping.  Terlalu banyak orang duduk menyamping dan merentangkan kaki mereka yang bau ke depan wajah orang-orang!  Itu semua tidak menghormati orang.
  1. Jangan menunjuk atau melambaikan tangan pada siapa pun jika ada syekh.  Kadang-kadang kalian memerlukan sesuatu dari seseorang dan kalian melambai kepadanya, tetapi itu tidak diizinkan.  Berapa sering kita melakukan itu?  Setiap saat!  Jadi apakah kita mempunyai disiplin?  Kita berusaha, tetapi belum (mempunyai disiplin).
  2. Jangan mengedip kepada seseorang sebagai ucapan salam dalam majelis syekh.
  3. Laa taqulu fulaan qaala khilaafan li qawlik.  Jika guru mengatakan sesuatu, jangan katakan kepadanya, karena hanya ulama yang bisa mengajarkan ulama lain, “Ulama ini mengatakan sesuatu yang berbeda dari yang engkau katakan.”  Itu adalah penghinaan.
  4. wa laa taghtaab fii haadratihi abadan, “Dalam kehadirannya, jangan menggunjingkan orang lain.”  Berapa banyak orang datang kepada syekh dan mengatakan, “Orang ini mengatakan ini, dan yang itu mengatakan itu.”
  5. Ketika kalian berada dalam perkumpulan semacam itu, jangan bicara kepada teman kalian tentang suatu masalah atau mendiskusikan sesuatu yang kalian butuhkan.  Diamlah.
  6. Jangan memegangi jubah syekh ketika dia berdiri agar kalian bisa menciumnya untuk mendapat berkah Jangan lakukan itu, tetapi hormati dan jagalah jarak kalian.  Jika kalian melakukannya, rasa hormat semakin rendah.  Jaga penghormatan kalian dengan penuh adab.  Siapa yang melakukan itu sekarang?
  7. Wa laa tu`rad `anhu, dan jangan berpikir kalian sudah duduk terlalu lama dalam shuhbah-nya, bahwa itu sudah cukup; semakin lama kalian duduk, semakin baik.
Jadi inilah nasihat Sayyidina Ali (r) kepada para Sahabat (r), untuk mengajarkan mereka.  Insya Allah kita akan lanjutkan lain kali.  Kita bacakan ini untuk menunjukkan betapa pentingnya menjalankan perintah syekh untuk menjaga Syari`ah.
Salah satu poin Syari`ah yang diinstruksikan Mawlana untuk dijaga adalah untuk menghormati prinsip apa yang kita sebut mahram.  Ketika seorang wanita ingin pergi haji, mereka menyuruhnya, “Bawa seorang mahram: ayah kalian, paman kalian, saudara laki-laki, atau saudara ipar laki-laki.”  Orang-orang tersebut adalah mahram kalian, yang artinya seseorang yang tidak bisa kalian nikahi. Berkenaan dengan wilayah pribadi keluarga syekh, jangan melewatinya jika kalian bukan berasal dari keluarga asli karena itu bertentangan dengan Syari`ah.  Itu disebut haram, artinya haram untuk memasuki tempat tinggal syekh di mana kalian dapat menjumpai istrinya, anak perempuannya, anak laki-laki dan istri mereka, serta seluruh keluarganya karena itu melampaui batas.  Hati-hati jangan melampaui batas!  Jangan bergabung dengan keluarganya karena kalian bukan keluarga!  Apa yang Allah (swt) katakan tentang ini dalam al-Qur’an?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنكُمْ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاء حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَن تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمًا
Yaa ayyuha ’Lladziina aamanuu laa tadkhuloo buyuut an-nabiyyi illa an yu’dzana lakum ilaa tha`amin ghayra nazhiriina inaahu wa laakin idzaa du`iitum fadkhuluu fa’idzaa tha`imtum fantashiruu wa laa mustaanisiina li-hadiitsin inna dzaalikum kaana yu’dzi ‘n-nabiyya fa-yastahiyy minkum wa Allahu laa yastahiy min al-haqqi wa idzaa sa’altumuuhunna mata`an fas’alzuuhunna min waraai hijaabin dzalikum ath-haru li-quluubikum wa quluubihinna wa maa kaana lakum an tu’dzuu rasuulallahi wa laa an tankihuu azwaajahu min ba`dihi abadan inna dzalikum kaana `indallahi `azhiiman.
Hai orang-orang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah Nabi, kecuali jika kamu telah diizinkan (dijamu) untuk makan, jangan datang (terlalu awal) hingga harus menunggu masakan siap. Tapi apabila kamu diundang, masuklah (pada waktu yang sesuai), dan ketika sudah selesai makan, hendaklah kamu pergi, tanpa berlama-lama untuk berbincang-bincang, karena hal itu akan mengganggu Nabi, dan dia malu untuk memintamu pergi. Tapi Allah tidak malu mengajarkan apa yang benar. Dan jika Anda meminta sesuatu kepada istri-istri Nabi, hendaklah kamu meminta dari belakang tirai; Ini akan memperdalam kebersihan hatimu dan hati mereka. Dilarang bagimu untuk menyakiti hati Rasulullah dan dilarang pula menikahi istri-istrinya sesudah Nabi wafat. Sesungguhnya, perbuatan yang demikian besar sekali dosanya di sisi Allah! (Surat al-Ahzab, 33:53)
Sudah jelas: “Hai orang-orang beriman!  Jangan memasuki rumah-rumah Nabi kecuali diizinkan.”
Jangan pergi dan masuk sendiri, seperti sebagian orang, yang mengatakan, “Oh! Tidak apa-apa bercampur karena sekarang abad ke-21, tidak masalah.” Apa yang Allah katakan? “Hai orang-orang beriman!  Jangan memasuki rumah-rumah Nabi sampai kamu diberi izin.” Jika kalian diberi izin tidak apa-apa; artinya Nabi memberi izin dan itu Syari`ah.  Jadi itu artinya, “Kalian tidak diizinkan memasuki rumahku sampai aku mengizinkan.”
Orang-orang sekarang terus datang, terutama di rumah syekh, karena mereka pikir itu tidak apa-apa, tetapi itu tidak boleh.  Mungkin putrinya, atau cucu perempuannya, istrinya, saudarinya, bibinya atau neneknya sedang berbusana kurang pantas, jadi bagaimana kalian bisa masuk ke dalam?  Bukan begitu?  Bagaimana kalian bisa masuk tanpa diberi izin?  Kalian melihat orang-orang datang dan pergi tanpa diberi izin, jadi Mawlana mengatakan, “Aku mengambil banyak dan memikul banyak beban dari kalian. Hentikan!”
Apa yang Allah (swt) katakan dalam Al-Qur’an?  “Datanglah ketika diberi izin dan ketika kamu datang untuk jamuan, datanglah pada saat hidangan telah siap.”  Memangnya siapa kalian untuk bersosialisasi? Bukan karena kalian tidak terhormat, tetapi Islam adalah Islam.  Allah (swt) lalu mengatakan, "Dan jangan datang terlalu awal hingga harus menunggu hidangan disiapkan, tetapi ketika diundang, masuklah."  Sekarang ini setan mengatakan, "Bawa pembangkit selera, untuk memperpanjang waktu sosialisasimu."  Jika kalian perlu bersosialisasi, pergi dan lakukan dengan orang yang ingin kalian dekati, bukan di rumah syekh!  “Tetapi ketika kamu diundang, masuklah, dan ketika sudah selesai makan, pergilah tanpa berbincang-bincang…” Jadi makan lalu pergi, jangan duduk dan bersosialisasi.
Sekarang ini mereka duduk dan mengobrol. Sekarang ini semua mengobrol di Internet, “Aku mencintaimu dan kamu mencintaiku,” menyanyikan lagu-lagu dan saya tidak tahu apa lagi.  Dalam Al-Qur’an dikatakan, “Perilaku seperti itu menggangu Nabi (s) dan beliau malu untuk menyuruhmu pergi, tetapi Allah tidak malu mengatakan kebenaran.  Dan ketika kamu meminta sesuatu dari istri-istrinya, mintalah dari belakang tirai.”  Ini artinya kalian harus meminta dari balik tirai, tidak berhadapan.  Nabi (s) dan Allah (swt) tidak menyukai hal itu, jadi Islam tidak mengizinkan itu kecuali kalian diberi izin; maka itu dibolehkan dan kita tidak dapat ikut campur, tetapi jika izin itu tidak diberikan, jaga batasan kalian karena, “hal itu akan memperdalam kebersihan hati kalian dan hati mereka, dan tidak dibenarkan bagi kalian untuk mengganggu Rasulullah (s), atau menikahi janda-jandanya sesudah Nabi (s) wafat.  Sesungguhnya hal semacam itu besar sekali dosanya di sisi Allah."
Itulah disiplin, dan ayat Al-Qur’an ini menunjukkan kepada kita bahwa kita kurang disiplin dan kita perlu banyak belajar dari buku-buku Syari`ah, setidaknya untuk mengetahui disiplin.  Dulu saya sering mengatakan mereka tidak memberi bay’at kepada siapa pun sampai mereka mempelajari Syari`ah. Grandsyekh (q) tidak memberi bay’at kepada siapa pun, kecuali dua orang, tetapi sekarang hal itu seperti menjual lobak. “Bay’at, bay’at!”  Lebih baik memberi mereka lobak atau bit!
Sekarang ini, apa itu bay’at? “Letakkan tanganmu di tongkat dan berbay’at.” Apakah itu bay’at?  Begitu sederhana, tetapi Mawlana memberinya secara luas di masa yang penuh kebodohan dan ketidakpedulian ini untuk menyebarkan rahmat dan berkah.  Dalam setiap waktu, bay’at memiliki prinsip dan artinya sendiri, tetapi kita harus tahu bahwa kita perlu belajar.  Ketika kalian sakit, mengapa kalian pergi ke dokter?  Dia orang biasa seperti kalian dan saya, tetapi dia membaca buku-buku dari sini sampai ke atap untuk menjadi dokter dengan belajar!  Kalian ingin menjadi syekh atau guru tetapi kalian tidak tahu apa pun dari Syari’ah, jadi didiklah diri kalian sendiri dan belajar.
Sebuah ayat dalam Kitab Suci al-Qur’an mengatakan, “Iqra! Bacalah!”
 اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bismillahi 'r-Rahmaani 'r-Rahiim. Iqraa bismi rabbik alladzii khalaq.
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. (Surat al-`Alaq, 96:1)
Allah (swt) mengatakan kepada Nabi (s), “Bacalah!” tetapi kita berkata, “Jangan membaca.” Siapa pun yang tidak membuka buku yang memberi penjelasan dari Syari`ah tidak berhak untuk masuk tarekat!
Wa min Allahi 't-tawfiiq, bi hurmati 'l-habiib, bi hurmati 'l-Fatihah.
© Copyright 2012 Sufilive. This transcript is protected by international copyright law.
Please attribute Sufilive when sharing it. JazakAllahu khayr.

 

Related Posts by Categories»

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India